Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kebahagiaan dalam Pandangan Mulla Sadra (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Sejak dahulu, tema kebahagiaan, kesempurnaan, kebaikan, dan kenikmatan manusia selalu menjadi bahan diskusi para filsuf, teolog, dan khususnya para pemikir moral maupun politik. Luasnya cakupan konsep kebahagiaan telah melahirkan beragam pandangan yang berbeda-beda. Di antara sekian banyak pemikir, Ṣadr al-Dīn al-Syīrāzī, atau yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, pendiri al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Transendental), menempati posisi penting. Pandangannya tentang kebahagiaan begitu luas sehingga tidak mungkin dibahas secara menyeluruh di sini. Karena itu, uraian berikut hanya memaparkan aspek-aspek pokoknya. 

Pertama-tama, Mulla Sadra mendefinisikan kebahagiaan sejati sebagai eksistensi sekaligus persepsi terhadap eksistensi. Namun, karena eksistensi memiliki tingkatan—ada yang sempurna dan ada yang kurang sempurna—maka kebahagiaan pun bertingkat-tingkat. Semakin sempurna eksistensi, semakin tinggi pula kebahagiaan yang menyertainya. Sebaliknya, semakin rendah eksistensi karena bercampur dengan keburukan dan kesengsaraan, semakin berkurang pula kebahagiaan yang mungkin dicapai. Eksistensi paling sempurna adalah Wujud Tuhan Yang Maha Esa, kemudian diikuti oleh makhluk-makhluk di alam akal (malaikat), lalu jiwa-jiwa, hingga makhluk-makhluk di alam materi.1 

Karena eksistensi berbeda-beda dalam tingkatannya, kebahagiaan—yang merupakan persepsi terhadap eksistensi—juga berbeda-beda. Sebagaimana kekuatan akal lebih tinggi daripada kekuatan hewani, demikian pula kebahagiaan akal lebih agung, kenikmatannya lebih sempurna, dan cintanya lebih murni. Mulla Sadra menegaskan bahwa eksistensi adalah kebaikan murni, dan bahwa kebaikan adalah sesuatu yang dicari oleh segala sesuatu, disenangi, dan dikelilingi oleh makhluk. Yang dimaksud di sini bukan sekadar konsep mental tentang eksistensi, melainkan hakikat dan realitasnya sendiri.2 

Dalam kesempatan lain, Mulla Sadra menjelaskan bahwa kenikmatan merupakan kesempurnaan khusus bagi subjek yang mengetahui, sebagaimana rasa sakit dan penderitaan merupakan lawannya. Dengan kata lain, kenikmatan adalah kesadaran jiwa terhadap sesuatu yang selaras dengan dirinya.3 Jiwa yang menjadi sempurna dan kuat, yang melepaskan keterikatannya pada tubuh, lalu kembali kepada hakikat aslinya, akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan yang tak tertandingi oleh kenikmatan inderawi. Hal ini karena sarana kenikmatan intelektual jauh lebih kuat dan lebih sempurna daripada sarana kenikmatan indrawi.4 

Dengan demikian, dalam kerangka al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah, kebahagiaan dipahami sebagai kesempurnaan, kenikmatan, dan kebaikan yang dicapai melalui kesempurnaan eksistensi. Jalan untuk mencapainya adalah dengan memahami hakikat eksistensi dan realitas sesuai dengan daya kognitif manusia. 

Karena kebahagiaan merupakan sejenis persepsi, dan persepsi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan dan objeknya, maka setiap daya memiliki kebahagiaan masing-masing. Akhirnya, kebahagiaan tertinggi adalah milik daya yang paling kuat, paling abadi, dan paling menyeluruh, yaitu akal. Oleh sebab itu, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan intelektual. Dalam aspek teoritis, jiwa memperoleh pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, dan menyaksikan esensi-esensi intelektual yang bercahaya. Karena akal lebih mulia daripada indera maupun organ tubuh, maka kebahagiaan intelektual merupakan bentuk kebahagiaan yang paling otentik dan sempurna.5 

Bersambung...