Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kebahagiaan dalam Pandangan Mulla Sadra (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dengan demikian, kebahagiaan sejati manusia dalam aspek teoritis adalah pencapaian pengetahuan rasional. Adapun dalam aspek praktis, kebahagiaan ditentukan oleh kemandirian jiwa, keseimbangan batin, serta keterhindaran dari sikap berlebihan maupun kekurangan. Jika manusia mampu melepaskan diri dari dominasi hawa nafsu, menata keseimbangan batinnya, serta mengarahkan diri pada perbuatan baik, maka kebajikan-kebajikan moral akan tumbuh menjadi karakter permanen. Pada titik inilah tercapai kebebasan batin dan keadilan jiwa, yang merupakan batas kebahagiaan sejati dalam aspek praktis.6 

Apabila manusia berhasil menyatukan tiga aspek—pemahaman teoritis atas hakikat-hakikat, perilaku lahir yang benar, dan kebajikan batin yang tertanam—maka ia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati. Karena jiwa menyatu dengan pengetahuan dan kebajikan yang diperolehnya, maka ia tetap bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.7 Pandangan ini berlandaskan pada prinsip-prinsip fundamental dalam filsafat Sadrian, seperti prinsipalitas eksistensi (aṣhālat al-wujūd), gradasi eksistensi (tasykīk al-wujūd), kebaikan eksistensi, serta kesatuan subjek-objek pengetahuan (ittiḥād al-‘āqil wa al-ma‘qūl). 

Mulla Sadra juga menegaskan bahwa kebahagiaan teoritis lebih tinggi daripada kebahagiaan praktis. Hal ini karena akal teoritis secara murni berhubungan dengan hakikat jiwa, sedangkan akal praktis masih terikat dengan tubuh dan pengaturannya. Kebahagiaan praktis lebih terkait dengan kondisi seperti kesehatan jasmani dan ruhani, kebersihan batin dari noda, pengembangan kebajikan, dan amal saleh yang berbuah surga serta penyelamatan dari neraka.8 

Lebih jauh, Mulla Sadra membagi tingkatan kebahagiaan berdasarkan gerak substansial jiwa serta tingkatan akal teoritis sebagai berikut: 

1. Akal Potensial – jiwa masih dalam keadaan potensial murni, belum memiliki pengetahuan rasional. 

2. Akal Habitual – jiwa mulai memiliki pengetahuan dasar dan aksioma, seperti prinsip kontradiksi dan kaidah bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian. Dari sinilah kebahagiaan sejati mulai muncul, karena jiwa mencapai aktualitas tanpa bergantung pada materi. 

3. Akal Aktual – jiwa memperoleh pengetahuan teoretis melalui argumen dan definisi. 

4. Akal Perolehan – jiwa mencapai hubungan dengan Akal Aktif (malaikat Jibril as) dan memperoleh pengetahuan tertinggi darinya.9 

Menurut Mulla Sadra, tujuan tertinggi dari alam materi adalah penciptaan manusia, sedangkan tujuan tertinggi eksistensi manusia adalah mencapai tingkat Akal Perolehan, yaitu pengetahuan paling sempurna tentang Tuhan Yang Maha Esa.10 Pada titik inilah kebahagiaan sejati dicapai, yakni persepsi intelektual terhadap hakikat eksternal, yang dalam level tertinggi berupa penyatuan dengan Akal Aktif dan pengetahuan langsung tentang Tuhan Yang Mahatinggi. 

Catatan Kaki 

1. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 121. 
2. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 1, hlm. 341. 
3. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 4, hlm. 123. 
4. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 122. 
5. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 136. 
6. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Mabda’ wa al-Ma‘ād, hlm. 277–278. 
7. Ibid. 
8. Ibid. 
9. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Mabda’ wa al-Ma‘ād, hlm. 271. 
10. Ibid.