Ihwal Ruh dalam Wujud Manusia
Hubungan antara ruh dan raga bukanlah seperti hubungan dua zat kimia yang bersatu lalu hilang saat dipisahkan. Air terbentuk dari hidrogen dan oksigen, dan jika salah satunya hilang, wujud air pun hilang. Tetapi ruh dan tubuh tidak demikian. Ruh bukan bagian dari tubuh. Ruh adalah hakikat, sementara tubuh adalah wadah sementara.
Selama ruh tetap ada, identitas manusia tetap terjaga. Pergantian sel tubuh atau kerusakan organ tidak menggugurkan kesatuan diri. Seseorang tetaplah orang yang sama meskipun tubuhnya berubah total dalam hitungan tahun. Ini karena tubuh adalah sarana bagi ruh untuk beraktivitas, bukan sumber identitas dirinya.
Saat tubuh mati, ruh berpindah dari fase kehidupan dunia ke fase kehidupan lain. Tubuh hancur, tetapi ruh tetap. Pada hari kebangkitan, ruh akan kembali berhubungan dengan tubuh yang telah disiapkan untuk kehidupan baru. Karena ruh yang sama itulah yang kembali, maka kesatuan pribadi tetap terpelihara—dialah orang yang sama dengan yang dahulu hidup di dunia.
Al-Qur’an memberi penjelasan yang sangat jelas ketika membantah orang-orang yang mengingkari Ma‘ad. Mereka bertanya bagaimana manusia dapat dibangkitkan setelah tubuhnya hancur menjadi tanah. Al-Qur’an menjawab:
“Katakanlah, sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diwakilkan untuk tugas itu.”
(QS. As-Sajdah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya dicabut adalah ruh, bukan tubuh. Ruh inilah hakikat manusia yang akan kembali kepada Allah. Tubuh hanyalah pakaian sementara yang akan berganti.
Dengan demikian, jawaban terhadap keraguan tentang Ma‘ad terletak pada pemahaman terhadap ruh. Selama ruh diakui sebagai hakikat manusia yang nonmaterial, mandiri, dan tidak hancur bersama tubuh, maka kehidupan setelah kematian bukan hanya masuk akal, tetapi menjadi konsekuensi alami dari struktur wujud manusia sendiri.

