Argumen Logis tentang Hari Kebangkitan dan Kehidupan Pasca-Kematian (2)
Dari sinilah timbul pertanyaan yang lebih mendasar: apa sebenarnya faktor alami yang menjaga kesatuan tubuh makhluk hidup sepanjang perubahan yang terjadi?
Menurut teori filsafat yang sudah lama dikenal, di balik setiap makhluk hidup terdapat satu hakikat sederhana yang tidak tersusun dari bagian-bagian, yang disebut thabi‘ah, forma, atau shurah. Hakikat inilah yang memberi bentuk, identitas, dan fungsi pada makhluk tersebut. Pada manusia dan hewan, hakikat itu disebut ruh atau nafs. Ruh ini tidak rusak bersama perubahan materi; justru ruh yang membuat semua perubahan tetap berada dalam satu kesatuan.
Para filsuf klasik membedakan ruh menjadi tiga tingkat:
1. Ruh tumbuh (nafs nabati) yang dimiliki tumbuhan,
2. Ruh hewani (nafs hayawani) yang dimiliki hewan,
3. Ruh manusia (nafs insani) yang memiliki kemampuan berpikir dan kesadaran tinggi.
Sebagian filsuf kuno berpendapat bahwa ruh tumbuhan dan hewan masih bersifat material, sedangkan ruh manusia nonmaterial. Namun banyak filsuf Islam, terutama Mulla Sadra, berpendapat bahwa ruh hewan pun memiliki sisi nonmaterial. Hal ini karena kemampuan merasakan, berkehendak, dan menyadari lingkungan adalah ciri dari wujud yang tidak sepenuhnya material.
Di sisi lain, kaum materialis modern menolak keberadaan ruh nonmaterial. Bagi mereka, apa pun yang tidak dapat diindera atau diuji secara empiris dianggap tidak ada. Karena itu mereka menolak gagasan tentang forma atau ruh. Namun dengan menolak ruh, mereka tidak mampu menjawab persoalan tentang kesatuan makhluk hidup, sebab mereka terjebak pada perubahan materi yang tidak pernah berhenti.
Pada tumbuhan, standar kesatuan adalah forma tumbuh. Selama materi dapat menerima forma tersebut, tumbuhan hidup. Jika materi tidak mampu lagi menerima forma, kehidupan tumbuhan berhenti. Jika materi baru memiliki kesiapan yang sama, forma dapat muncul kembali. Namun ini berarti bahwa tidak ada kesatuan hakiki antara “tumbuhan lama” dan “tumbuhan baru”—keduanya hanya mirip dalam bentuk, tetapi tidak identik dalam hakikat.
Pada hewan dan manusia, keadaannya berbeda. Karena ruh mereka bersifat nonmaterial, ruh tetap eksis meski tubuh hancur. Ruh tidak bergantung pada materi tertentu. Ketika tubuh rusak atau mati, ruh tidak binasa. Dan ketika ruh kembali berhubungan dengan tubuh—baik tubuh baru atau tubuh yang dibangkitkan pada hari kiamat—kesatuan pribadinya tetap terjaga. Inilah dasar rasional keyakinan tentang Ma‘ad.
Sebaliknya, bila seseorang menganggap bahwa manusia hanyalah tubuh material, maka ia tidak dapat memahami kebangkitan. Jika tubuh mati lalu materi baru membentuk tubuh lain, akan muncul sifat-sifat baru pula. Tubuh baru itu tidak lagi “orang yang sama.” Dengan demikian, konsep kebangkitan menjadi tidak masuk akal bagi orang yang menolak keberadaan ruh nonmaterial.
Karena itu, untuk memahami Ma‘ad, kita perlu menerima beberapa hal:
1. Ruh benar-benar ada.
2. Ruh adalah hakikat manusia yang sesungguhnya, bukan sekadar sifat tubuh.
3. Ruh tidak hancur bersama tubuh, melainkan tetap eksis secara mandiri.
4. Kesatuan diri manusia bergantung pada ruh, bukan pada tubuh.

