Puisi Ibn Sina Tentang Ruh
Dia Di Mana-Mana
Ia turun kepadamu (hai tubuh manusia) dari tempat yang tinggi,
(Bagaikan) merpati (jinak, tetapi) enggan dan menghindar.
Terselubung terhadap pelupuk setiap pemandang,
Padahal ia yang membuka wajah dan tanpa cadar.
Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi,
Enggan berpisah kendati ia penuh keluhan.
Enggan dan tidak sedang (menyatu denganmu), tetapi begitu menyatu
Akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh.
Kuduga ia lupa janji-janjinya ketika berada di alamnya yang tinggi.
Ia menangis bila mengingat janji-janji di alamnya yang luhur,
Mencucurkan air mata, deras, tiada henti.
Ia pun terus berkicau menangisi puing-puing,
Yang telah runtuh oleh kisaran angin dari empat penjuru.
Itu karena ia terhalangi oleh jeratan yang kuat dan dibendung,
Oleh sangkar, sehingga tak lepas ke angkasa luas.
Hingga jika telah mendekat jalan menuju asalnya…
Mendekat pula saat berpisah ke angkasa yang luas
Lalu berangkat berpisah dengan semua yang ditinggal…
Ditinggal remeh bersama tanah… dan tanpa berpamit…
Ketika itu… mendadak dibuka tabir, dan terlihatlah…
Apa yang tak terjangkau mata yang disentuh kantuk.
Ia pun berkicau di atas puncak yang amat tinggi…
Begitulah ilmu, meninggikan semua yang belum tinggi
(Boleh jadi ada yang bertanya-jika memang ruh gembira dengan kepulangannya),
Nah, mengapa ia diturunkan dari tempat yang tinggi,
Menuju ke dalaman yang sangat rendah dan hina?
Ia diturunkan Tuhan, untuk suatu hikmah,
Yang tidak terjangkau oleh cendekia yang sangat bijak!
Tak pelak lagi, turunnya adalah keniscayaan,
Agar menjangkau apa yang belum dijangkaunya.
Guna meraih semua rahasia, rahasia kedua alam,
Sobekan bajunya tak perlu dijahit.
Masa menghadang perjalanannya, kendati demikian,
Ia terbenam, tidak serupa ketika terbitnya.
Ia seakan kilat, cemerlang di bentengnya yang tinggi,
Lalu redup, menghilang bagai tak pernah berkilau.
Bergembiralah dengan jawaban yang kuungkap,
Karena api ilmu memiliki kilauan.
Ia turun kepadamu (hai tubuh manusia) dari tempat yang tinggi,
(Bagaikan) merpati (jinak, tetapi) enggan dan menghindar.
Terselubung terhadap pelupuk setiap pemandang,
Padahal ia yang membuka wajah dan tanpa cadar.
Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi,
Enggan berpisah kendati ia penuh keluhan.
Enggan dan tidak sedang (menyatu denganmu), tetapi begitu menyatu
Akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh.
Kuduga ia lupa janji-janjinya ketika berada di alamnya yang tinggi.
Ia menangis bila mengingat janji-janji di alamnya yang luhur,
Mencucurkan air mata, deras, tiada henti.
Ia pun terus berkicau menangisi puing-puing,
Yang telah runtuh oleh kisaran angin dari empat penjuru.
Itu karena ia terhalangi oleh jeratan yang kuat dan dibendung,
Oleh sangkar, sehingga tak lepas ke angkasa luas.
Hingga jika telah mendekat jalan menuju asalnya…
Mendekat pula saat berpisah ke angkasa yang luas
Lalu berangkat berpisah dengan semua yang ditinggal…
Ditinggal remeh bersama tanah… dan tanpa berpamit…
Ketika itu… mendadak dibuka tabir, dan terlihatlah…
Apa yang tak terjangkau mata yang disentuh kantuk.
Ia pun berkicau di atas puncak yang amat tinggi…
Begitulah ilmu, meninggikan semua yang belum tinggi
(Boleh jadi ada yang bertanya-jika memang ruh gembira dengan kepulangannya),
Nah, mengapa ia diturunkan dari tempat yang tinggi,
Menuju ke dalaman yang sangat rendah dan hina?
Ia diturunkan Tuhan, untuk suatu hikmah,
Yang tidak terjangkau oleh cendekia yang sangat bijak!
Tak pelak lagi, turunnya adalah keniscayaan,
Agar menjangkau apa yang belum dijangkaunya.
Guna meraih semua rahasia, rahasia kedua alam,
Sobekan bajunya tak perlu dijahit.
Masa menghadang perjalanannya, kendati demikian,
Ia terbenam, tidak serupa ketika terbitnya.
Ia seakan kilat, cemerlang di bentengnya yang tinggi,
Lalu redup, menghilang bagai tak pernah berkilau.
Bergembiralah dengan jawaban yang kuungkap,
Karena api ilmu memiliki kilauan.