Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Belajar Toleransi dari Al-Azhar dan Mesir

0 Pendapat 00.0 / 5

Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya IslamMungkin kening akan berkerut ketika mendengar kata toleransi. Hal ini tidaklah aneh, karena kata toleransi saat ini seolah telah menjadi milik kaum liberal, ditambah lagi dengan adanya kelompok Islam yang tidak mau menerima perbedaan yang sejatinya adalah lumrah menyebabkan kata toleransi seakan hilang dari benak kaum muslim.

 

Bercerita tentang Mesir, sebuah negara yang kenyang dengan pengalaman peradaban, berbagai macam dinasti dengan ideologi yang berbeda silih berganti menguasai Mesir. Maka perbedaan pendapat dan ideologi bukanlah hal yang aneh kita dapatkan di negeri ini.

 

Dalam hubungan antara muslim dan non muslim, Mesir bisa dijadikan contoh nyata kedamaian antar agama, meskipun memang masih ada sedikit gesekan antara masing-masing pemeluk agama, namun tidak begitu parah seperti yang terjadi di negara lain, Indonesia misalnya. Begitupun antara hubungan sesama muslim yang berlainan ideologi: kaum Syi`ah dibebaskan untuk berziyarah ke makam imam Husain tanpa ada halangan atau diskriminasi. Begitupun empat madzhab fikih tersebar di kalangan masyarakat tanpa ada keributan antara penganut madzhab satu dan lainnya, sangat berbeda jauh dengan negara Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi`i, sesama madzhab Syafi`i yang pro-kunut dan anti-kunut pun tak pernah habis berdebat.

 

Kita buka catatan sejarah. Islam masuk Mesir sekitar tahun 639-642 M, pada masa pemerintahan Umar bin Khatthab (634-644 M), dengan pasukan yang dipimpin oleh seorang sahabat saaw, `Amru bin `Ash. Zuhairi Misrawi (2010) menuliskan bahwa saat itu mayoritas penduduk Mesir adalah kaum Kristen Koptik, namun Islam bisa diterima oleh rakyat Mesir tanpa melalui jalan kekerasan, hal itu disebabkan karena `Amru bin `Ash sangat memahami bahwa mayoritas penduduk Mesir saat itu adalah ahlu kitab yang tidak diperangi kecuali jika mereka mulai memerangi. `Amru bin `Ash pun menjalin hubungan yang baik dengan rakyat Mesir meski berbeda agama, dan sepertinya itulah salah satu sebab berkembangnya Islam dan diterimanya Islam oleh masyarakat Mesir.

 

Dinasti Fathimiyah menguasai Mesir selama dua abad lamanya, tahun 969-1171 M. dan menjadikan kota Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Pada saat inilah masjid Al-Azhar dibangun untuk menjadi pusat penyebaran Islam saat itu. Perlu dicatat, meski dinasti Fathimiyah menjadikan ideologi Syi`ah Ismailiyah sebagai ideologi resmi negara, namun setelah dinasti itu hancur, ideologi Islam Sunni tetap menjadi mayoritas di Mesir. Hal itu disebabkan karena dinasti Fathimiyah dikenal toleran terhadap rakyat Mesir yang saat itu terdiri dari kaum Kristen Koptik dan Islam aliran Sunni. Bahkan A. Mansur Suryanegara (2010) menulis bahwa Dinasti Fathimiyah pernah mengangkat perdana mentri yang berasal dari kaum Kristen Koptik, yaitu Yaqub bin Killis dan Al-Jarjarai.

 

Dinasti Fathimiyah di Mesir pun tidak hanya membangun kekuasaan, namun mereka pun membangun infrastruktur yang bisa dinikmati bukan saja oleh kalangan kerajaan namun oleh seluruh rakyat Mesir saat itu. Disamping itu, Dinasti Fathimiyah tidak memaksakan rakyat muslim Mesir untuk berpindah aliran menjadi Syi`ah, dan juga tidak memaksakan rakyat non muslim untuk memeluk Islam. Maka, meski secara ideologi dinasti Fathimiyah bertentangan dengan rakyat Mesir yang beraliran Sunni namun dinasti Fathimiyah memiliki nilai tersendiri di benak seluruh rakyat Mesir, salah satunya karena peninggalannya yaitu Al-Azhar.

*Mahasiswa Fakultas Syari`ah Islamiyah Universitas Al-Azhar Cairo